Selasa, 05/11/2024 23:46 WIB

Saksi Ahli Tak Bisa Simpulkan Ada Kerugian Negara di Perkara Minyak Goreng

Sebelumnya, Rimawan di persidangan telah merevisi angka kerugian perekonomian negara yang dihitungnya menjadi Rp10,96 triliun dari sebelumnya  Rp12,31 triliun.

Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi ekspor CPO di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/12).

Jakarta, Jurnas.com - Ekonom dan mantan Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo tidak bisa menyimpulkan adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor crude palm oil  (CPO).

Dalam persoalan ini, dia menilai perlu juga melihat adanya manfaat positif dari kegiatan ekspor CPO terhadap perekonomian nasional berupa pungutan ekspor dan bea keluar yang mencapai Rp 6 triliun pada Februari dan Rp8,69 triliun pada Maret 2022.

“Belum dapat disimpulkan ada kerugian perekonomian negara,” kata Lukita menjawab pertanyaan majelis hakim saat persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

Sebagaimana diketahui, jaksa penuntut umum (JPU) menggunakan perhitungan yang dilakukan oleh ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo, untuk menyampaikan dalam dakwaan mengenai adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara ini.

Sementara, Rimawan di persidangan telah meralat angka kerugian perekonomian negara yang dihitungnya menjadi Rp10,96 triliun dari sebelumnya  Rp12,31 triliun.

Menurut Lukita, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh terdakwa Lin Che Wei, menyatakan bahwa Tabel Input Output (I-O) yang digunakan Rimawan untuk menghitung kerugian perekonomian negara tidak cocok untuk industri yang berkarakteristik sangat mudah terpengaruh harga komoditas.

“Dalam kaitan dengan minyak goreng, kita melihat bahwa harga komoditas minyak goreng sangat volatile. Dengan perubahan seperti itu, hubungan antara input dan output menjadi sangat rentan untuk berubah,” paparnya.

Selain itu, lanjut Lukita, perhitungan Rimawan menggunakan data Tabel Input-Output Badan Pusat Statistik Tahun 2016 dianggap tidak relevan, karena  telah terjadi perubahan struktur yang sangat besar pada industri sawit.

“Sebagai contoh, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2011 hanya ada  58 jenis produk hilir sawit, sementara saat ini sudah terdapat 185 produk. Harga sawit pun telah mengalami kenaikan tajam. Karena itu, akurasi ataupun validitas dari perhitungan ini menjadi dipertanyakan,” jelas Lukita.

Lukita menambahkan, Tabel Input-Output juga seharusnya memperhitungkan manfaat, yaitu berupa penerimaan negara dari ekspor sawit seperti pungutan ekspor dan bea keluar.

“Baik biaya maupun manfaat seharusnya dipertimbangkan sehingga net benefit terlihat. Saya pikir, kalau mau fair posisi plus dan minus harus dihitung. Kalau tidak, hasilnya tidak adil,” tegasnya.

Lukita juga menyorot, penggunaan Tabel Input-Output yang memasukkan industri yang notabene bukan penerima manfaat DMO sebagai output.

Menut dia, butuh kajian khusus untuk melihat dampak kerugian negara bagi rakyat kecil dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) secara spesifik.

“Kita harus lihat, apakah membedakan dampak terhadap rakyat kecil dan UMKM bisa menggunakan tabel Input-Output yang  eksisting? Saya rasa tidak. Harus ada kajian khusus berapa yang dikonsumsi rakyat kecil dan berapa yang dikonsumsi UMKM,” lontarnya.

Lukita juga tidak setuju apabila bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng dianggap sebagai kerugian negara. Sebab, Ketika masyarakat menggunakan dana itu, akan menimbulkan multiplier effect yang bisa mendorong perekonomian secara keseluruhan.

“Jadi, tidak sesederhana itu. Tidak bisa dilihat BLT hanya sebagai pengeluaran negara. Perlu dilihat juga ekonomi bergerak, ekonomi tumbuh, dan ada penerimaan pajak pemerintah,” tuturnya.

Terkait dengan kelangkaan minyak goreng yang terjadi selama periode Januari-Maret 2022, Lukita menilai bukan disebabkan oleh tindakan eksportir dan produsen, melainkan dipicu oleh kebijakan pengendalian harga yang tidak disertai kelengkapan persyaratan pendukung implementasi.

Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang tidak didukung oleh persiapan implementasi yang cukup, termasuk kendali atas distribusi, menyebabkan produksi minyak goreng yang mencapai 540 juta liter (persediaan) sejak pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2022, menjadi tidak tersedia di pasar.

“Meskipun produknya ada, tetapi di pasar tidak ada. Terjadi shortage amidst abundance, kekurangan di tengah kelimpahan. Setelah HET dicabut, barulah minyak goreng kembali ada di pasar,” tandasnya.

KEYWORD :

Korupsi Ekspor CPO Minyak Goreng HET Wilmar Nabati Indonesia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :